Kehadiran AI sampai sekarang masih menjadi topik pembahasan hangat untuk semua kalangan, terutama generasi peka teknologi. Peranannya saat ini telah menyentuh berbagai aspek, termasuk sektor kreatif sehingga memicu kontroversi, tak terkecuali perihal hak cipta dari sisi pemiliknya. Terlihat, kasus pelanggaran hak cipta kian marak terjadi.
Kondisi tersebut kian membuat masyarakat dilema akan bagaimana semestinya pemakaian AI pada sektor kreatif. Kasus yang sudah terjadi seakan menjadi gambaran, kalau AI masih menjadi satu kondisi dengan pro serta kontra.
Lantas, seperti apa kasus pelanggaran hak cipta pada lingkup internasional? Yuk, kita bahas bersama-sama pada artikel berikut ini.
Banyak yang Gagal Daftar Merek, Jangan Sampai Kamu Juga!
Masih banyak bisnis yang tidak sadar bahwa merek mereka berisiko ditolak. Yuk, kenali cara menilai potensi keberhasilan sebelum kamu mendaftar!Pelajari Langkahnya Sekarang!
Implementasi AI pada masa sekarang sudah masuk dalam berbagai aspek. Mulai dari lingkup kerja konvensional, pemilik usaha, mahasiswa, sampai kreator telah memanfaatkan teknologi AI sebagai salah satu alat untuk membantu aktivitas mereka.
Meski begitu, regulasi atau aturan terkait masalah tersebut tidak dapat sepesat teknologi dengan perkembangan masif dari waktu ke waktu. Regulasi untuk konsep seperti AI Generatif serta machine learning masih belum sesuai, tak terkecuali Indonesia.
Selain tidak membahas terkait regulasi hak cipta dari karya AI, kasus pelanggaran hak cipta AI pada pengadilan juga masih sangat sedikit, bahkan bukan tidak mungkin tidak ada. Itu terutama untuk kaitannya dengan AI sebagai objek paling utama masalah.
Meski begitu, pihak berwenang kabarnya tengah merumuskan aturan perbaikan untuk Hak Cipta alias UU Hak Cipta. Sekarang, hak cipta berada dalam naungan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014, yang spesifik mengenai Hak Cipta (UUHC).
Namun, regulasi tersebut tidak menjabarkan secara mendetail terkait aturan perlindungan untuk karya hasil ciptaan teknologi AI. Oleh sebab itu, regulasi perundangan hak cipta versi baru kali ini harapannya ikut mengatur mengenai proteksi tersebut.
Artinya, kalau regulasi hak cipta versi perbaikan sudah resmi berlaku, pastinya dapat menjadi panduan maupun pedoman apabila nantinya harus berhadapan dengan kasus pelanggaran hak cipta AI.
Di Indonesia, mungkin masih belum banyak terjadi kasus pelanggaran hak cipta AI. Tapi, di luar negeri, masalah tersebut sudah cukup umum. Berikut beberapa contohnya:
NVIDIA, perusahaan teknologi populer asal Amerika Serikat pernah menghadapi gugatan akan dugaan pelanggaran hak cipta AI dari tiga orang penulis pada tahun 2024 lalu. Kabarnya, NVIDIA telah memakai karya tiga penulis tersebut tanpa izin untuk melatih NeMo, model AI milik NVIDIA sendiri.
Ketiganya turut memberikan pernyataan kepada pihak Pengadilan Federal San Fransisco, bahwa karya mereka pun termasuk sekumpulan data berisi kurang lebih 196.640 buku untuk melatih NeMo dalam mensimulasikan bahasa manusia.
NVIDIA mendapatkan tuntutan ganti rugi untuk kondisi tersebut. Akan tetapi, masih belum ada putusan lanjutan akan kasus tersebut sampai sekarang.
Perusahaan startup AI, Udio dan Suno mendapatkan gugatan pelanggaran hak cipta AI dari label musik besar dunia, termasuk Warner Records, Universal Music Group, serta Sony Music. Ketiga label musik tadi beranggapan, dua perusahaan tersebut telah melakukan pencurian musik dengan proteksi hak cipta untuk menciptakan karya serupa.
Dalam tuntutannya, perusahaan label musik menuntut Udio serta Suno ganti rugi juga kompensasi sebesar 150.000 USD atau kurang lebih Rp2,4 miliar untuk setiap pelanggaran yang mereka lakukan. Sebagai tanggapan, Udio menyatakan pihaknya tidak mempunyai niat meniru maupun menciptakan ulang karya musik tersebut.
Pihaknya juga menyatakan, sistem AI buatan mereka sudah secara spesifik diatur untuk menciptakan musik dengan ide orisinil. Sementara, Suno masih belum memberi tanggapan.
Pada 2023, Pengadilan Internet Beijing mengeluarkan putusan terhadap kasus pelanggaran hak cipta AI pertama di Tiongkok. Seorang warga bernama Li melayangkan gugatan kepada Liu terkait dugaan pelanggaran hak cipta gambar AI.
Li memanfaatkan sebuah layanan AI penghasil gambar dengan nama Stable Diffusion guna membuat beberapa model gambar, salah satunya bernama Spring Breeze Brings Tenderness – AI Generated Picture. Selanjutnya, Li mengunggah gambar tersebut pada platform bernama Xiaohongsu.
Liu lantas menggunakan gambar tersebut dalam tulisannya dengan tajuk Love in March, Among Peach Blossoms. Sayangnya, Liu tidak menuliskan nama Li sebagai pemilik gambar, bahkan menghilangkan watermark platform. Karena itulah, Li melayangkan gugatan atas Liu untuk pelanggaran hak cipta AI.
Pengadilan selanjutnya memutuskan bahwa gambar AI kepunyaan Li merupakan bentuk karya seni dengan perlindungan hak cipta. Pasalnya, meski tercipta dari suatu platform kecerdasan buatan, gambar tadi telah memenuhi persyaratan sebagai bentuk kreasi seni.
Dari hasil putusan tersebut, Liu dinyatakan bersalah oleh pihak berwenang karena telah terbukti melakukan pelanggaran hak cipta AI atas gambar buatan Li, meski melalui wadah kecerdasan buatan.
Sebuah karya yang muncul dari proses panjang penciptanya tentu menjadi aset yang harus mendapat perlindungan penuh. Salah satu langkah tepat untuk melindunginya yaitu melalui registrasi hak cipta.
Bagi beberapa kreator, terutama pemain baru, proteksi hak cipta atas karya mungkin adalah hal baru. Untuk itu, perlu adanya pengetahuan secara mendalam mengenai hak cipta, termasuk cek hak cipta guna menjamin karya ciptaan tersebut belum ada yang memilikinya.
Tidak cuma itu, tidak semua kreator juga mengetahui bagaimana proses Daftar HAKI Hak Cipta. Dengan mengetahui secara mendetail, registrasi hak cipta tentu menjadi hal yang tidak lagi sulit serta berbelit-belit. Jangan tunda untuk memberi perlindungan nyata akan karya ciptaan, karena aset berharga layak mendapat perlindungan!
Ingin Daftar Merek? Jangan Lupa Cek Potensinya Dulu!
Banyak merek gagal terdaftar karena tidak melalui analisis yang tepat. Pastikan kamu tidak melewatkan langkah penting ini sebelum mengajukan pendaftaran!Pelajari Langkahnya Sekarang!
Sebenarnya, belum banyak negara melakukannya. Namun, kasus pelanggaran hak cipta AI di Tiongkok dapat menjadi gambaran nyata akan proteksi hak cipta AI, karena memiliki keterlibatan manusia.
Melakukan registrasi hak cipta menjadi salah satu langkah tepat untuk memproteksi semua bentuk karya cipta dari risiko penggunaan AI tanpa izin.
Karya ciptaan akan besar risikonya untuk disalahgunakan oleh pihak lain. Tidak hanya penyalahgunaan dari manusia, bahkan kecerdasan buatan alias AI.
Sayangnya, belum ada aturan spesifik untuk kondisi tersebut. Regulasi hak cipta di Indonesia masih belum spesifik mengatur karya cipta dari AI.
Tuntutan atas penyalahgunaan hak cipta AI dari tiga penulis atas NVIDIA, label musik dunia dengan perusahaan startup AI, serta pelanggaran penggunaan karya di Tiongkok adalah tiga di antaranya.