MEBISO.COM – Kasus merek Be A Plus Vs. APLUS, menjadi salah satu bahan dalam persidangan mengenai merek. DJKI tidak bisa memberikan hak merek kepada keduanya. Alhasil salah satu merek tersebut perlu melakukan perubahan atau merelakan kepemilikan hak mereknya.
Berikut ini adalah uraian kasus mengenai perebutan hak atas merek.
Kasus dengan perkara nomor 1346 K/PDT.Sus-HKI/2023 adalah mengenai perebutan hak antara 2 merek. Meski begitu, permasalahan ini tidak melibatkan dua pengusaha yang sama-sama menjadi pemilik merek.
Kasus merek ini terjadi karena pemilik merek Be A Plus merasa keberatan atas pendapat DJKI yang menolak permohonan perlindungan merek tersebut. Pendapat atau usul penolakan tersebut, murni hanya pendapat dari DJKI.
Pada dasarnya, kasus ini menjadi kasus antara pengusaha atau pemilik merek dengan pemerintah atau DJKI secara lebih khusus. Hal ini karena tidak ada aduan dari pemilik merek lawan atau pembanding yang menjadi alasan penolakan.
Dengan begitu, kasus ini adalah antara pengusaha pemilik merek dengan DJKI sebagai pengelola merek.
Selalu ada penyebab terjadinya penolakan yang bahkan menjadi sengketa. Salah satunya adalah karena pemeriksa menemukan kemiripan antara dua merek tersebut. Terlebih, Merek Be A Plus ternyata menjadi pihak yang lebih lemah karena tanggal pengajuannya belakangan.
Ketika petugas membandingkan dua merek tersebut, hanya ada satu kata yang menjadi perbedaan keduanya. Kata itu adalah “Be” dan selebihnya sama persis. Namun ternyata perbedaan satu kata itu tidak bisa menyelamatkan perusahaan dari kasus merek Be A Plus.
Pasalnya, menurut pemeriksa pada saat itu, perbedaan satu kata yang terdapat pada pengajuan perlindungan merek tersebut justru bisa mengakibatkan pelanggan terkecoh. Menguatkan pendapatnya, pemeriksa menggunakan aturan tentang merek yang menyebutkan mengenai larangan adanya kemiripan.
Secara lebih lanjut, arti kemiripan disini bukan hanya yang mirip 100% namun juga yang dianggap mirip secara pokoknya, atau hanya sebagian namun terletak pada unsur-unsur dominan pada merek.
Menurut putusan pengadilan mengenai kasus merek Be A Plus ini, yang mengantarkan perusahaan ke meja hijau adalah karena adanya kemiripan khususnya pada unsur dominan merek.
Ada beberapa jenis kemiripan dalam peraturan mengenai merek. Misalnya, seperti penjelasan di bawah ini.
Utamanya, setiap merek selalu terdiri dari susunan kata yang akhirnya menjadi media untuk menyebutkan produk tersebut. Dari sini, pemeriksa melakukan penilaian terhadap susunan kata atau huruf terhadap dua merek.
Dengan begitu, pemeriksa bisa menentukan apakah kedua merek tersebut memiliki kemiripan khususnya dari cara penyebutan atau fonetiknya.
Dalam suatu merek selalu terdapat konsep utama yang merupakan kombinasi dari penggunaan huruf, gambar, dan juga simbol-simbol khusus. Seluruh kombinasi tersebut juga masuk dalam penilaian dari pemeriksa.
Khususnya ketika pemeriksa membandingkan dengan merek yang sudah ada sebelumnya.
Penggunaan warna-warna utama dalam merek juga menempati peranan penting dalam proses pemeriksaan. Apalagi kalau ternyata pemilihan warna itu mengikuti dari warna utama merek terkenal.
Dengan begitu, pemeriksa akan mudah menerbitkan sebuah surat usulan penolakan ketika pengusaha berusaha mengajukan perlindungan merek.
Selain 3 pertimbangan di atas, pemeriksa juga menjadikan patokan keberhasilan merek berdasarkan pemilihan barang atau jasa. Setiap kali mengajukan perlindungan merek, pengusaha selalu menyampaikan barang atau jasa utama yang menjadi objek perlindungan.
Pemilihan barang dan jasa inilah yang kemudian mengantarkan perusahaan untuk berurusan dengan kasus merek Be A Plus.
Pasalnya, setelah melakukan penelusuran lebih lanjut, ternyata antara merek baru yang sedang dalam proses pengajuan perlindungan dengan yang sudah lebih dulu mendapatkan hak berada dalam kelas perlindungan yang sama.
Setelah melakukan pemeriksaan panjang, perusahaan yang mengajukan permohonan perlindungan merek Be A Plus mendapatkan dua putusan pengadilan! Putusan pertama adalah pada saat proses pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama.
Pada proses pemeriksaan tingkat ini, pengadilan belum dapat mengabulkan permohonan dari perusahaan. Artinya, majelis hakim tetap menguatkan pendapat dari pemeriksa merek sebelumnya. Permohonan perlindungan merek Be A Plus pun harus tetap ditolak.
Namun setelah muncul putusan pada pengadilan tingkat pertama itu, perusahaan masih berusaha untuk mendapatkan pertimbangan lainnya melalui pemeriksaan pengadilan yang lebih tinggi.
Lalu mulailah proses pemeriksaan Kasasi terhadap kasus merek antara pengusaha dengan DJKI ini. Menggunakan putusan sebelumnya, keputusan Komisi Banding Merek dan juga keterangan dari masing-masing pihak, majelis hakim pada tingkat kasasi memiliki pendapat yang sama dengan pengadilan sebelumnya.
Artinya, penolakan merek Be A Plus adalah mutlak. Alasan-alasan yang digunakan oleh pemeriksa merek adalah tepat. Bahkan keputusan pada pengadilan tingkat pertama juga sudah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Lebih lanjut, pemeriksa dan juga para majelis hakim sependapat mengenai kemiripan pada unsur dominan merek. Terlebih, tambahan satu kata di awal merek ternyata tidak bisa menambahkan unsur pembeda dalam merek.
Meskipun kamu mendapatkan inspirasi dari sebuah merek yang sudah ada, usahakan untuk memberikan tambahan unsur pembeda agar menghindari permasalahan seperti kasus merek Be A Plus. Caranya, manfaatkan fitur Cek Merek canggih dengan teknologi AI agar penilaiannya lebih akurat.