MEBISO.COM – Merek bisa menjadi harta atau aset bagi pengusaha. Tapi sebuah kasus merek Wilton memberikan pelajaran lain mengenai pengelolaan merek ini. Bagaimana cerita lengkapnya? Simak penjelasan dan penyebabnya dari artikel berikut.
Kata siapa kasus atau sengketa merek hanya bisa terjadi antara para pengusaha saja? Karena buktinya, ada sebuah cerita mengenai pewarisan sengketa merek. Artinya, masalah rebutan merek ini hingga melibatkan keturunan selanjutnya!
Menurut putusan nomor 171 K/Pdt.Sus-HKI/2024, Dewi Saraswati yang terlibat dalam proses pemeriksaan kasus ini sebenarnya adalah keturunan dari Siah Sovian yang sebelumnya sudah meninggal.
Tidak main-main, karena ternyata perjalanan kasus ini sangat panjang hingga memasuki tahap kasasi. Inti dari permasalahan ini adalah karena adanya perebutan merek Wilton yang kabarnya sudah dialihkan tanpa itikad baik sebelumnya.
Setiap pengalihan hak atas merek harus berdasarkan itikad baik. Hal ini karena berkaitan dengan siapa pemilik merek sebelumnya dan siapa yang nantinya akan menikmati hasil dari sebuah merek tersebut.
Bahkan sebelum bisa terjadi pengalihan merek, DJKI akan melakukan pemeriksaan lebih dulu untuk kemudian menerbitkan atau mencatatkan proses pengalihan atas merek tersebut.
Inilah yang kemudian mendasari adanya kasus Merek Wilton hingga melibatkan para ahli waris dari pemilik merek sebelumnya. Jauh sebelum proses pemeriksaan Kasasi dimulai, lebih dulu muncul adanya gugatan mengenai pembatalan proses pengalihan merek tersebut.
Gugatan tersebut mengenai permohonan untuk penarikan kembali proses pengalihan merek Wilton. Dengan begitu, gugatan ini bertujuan untuk menggagalkan perpindahan nama pemilik merek Wilton.
Atau, secara sederhana maksud dan permintaan penggugat adalah mengembalikan kepemilikan merek Wilton kepada Suharyono dan bukannya Siah Sovian. Kemudian karena proses pengalihan merek sudah terjadi, maka untuk membatalkannya maka perlu pemeriksaan kasus merek Wilton melalui pengadilan.
Pada gugatan pertama tersebut, pengadilan menilai dari permohonan, adanya bukti-bukti, hingga jawaban atau tanggapan pihak lawan. Pada proses pemeriksaan pertama, majelis hakim belum bisa berpihak pada penggugat.
Hal ini karena berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata majelis hakim berpendapat kalau gugatan yang dikirimkan kabur atau kurang jelas.
Meski begitu, bukan berarti kasus merek Wilton harus berakhir tanpa adanya perlawanan. Setelah menyebutkan putusannya, majelis hakim masih membuka kesempatan untuk mengajukan upaya hukum berupa kasasi.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, pihak penggugat kemudian menyampaikan keinginannya untuk terus memperjuangkan kepemilikan merek Wilton dengan mengajukan kasasi satu minggu setelah putusan pengadilan tingkat pertama tersebut dibacakan.
Dengan melalui proses pemeriksaan pada pengadilan yang lebih tinggi, penggugat berharap adanya perubahan hasil putusan dari pengadilan sebelumnya.
Sayangnya, hasil pemeriksaan pada pengadilan yang lebih tinggi juga tidak jauh berbeda dengan hasil pemeriksaan sebelumnya. Majelis hakim masih menyatakan gugatan tersebut kurang lengkap atau kabur.
Apa yang bisa menjadikan sebuah gugatan itu gagal? Berdasarkan cerita dari kasus merek Wilton, ada beberapa alasan yang menjadikan perjuangan mendapatkan hak merek itu gagal. Berikut adalah rinciannya.
Alasan yang pertama, adalah karena gugatan tersebut kurang lengkap dalam menunjuk para pihaknya. Dalam gugatan, penggugat menunjuk satu orang ahli waris sebagai pihak tergugat.
Ternyata, dalam proses pemeriksaan, ahli waris dari penerima hak merek tersebut tidak hanya satu orang. Pun mengenai pewarisan hak merek, juga perlu mematuhi ketentuan mengenai pewarisan harta pada umumnya.
Artinya, pembagian harta waris yang dalam hal ini adalah merek perlu mendapatkan persetujuan dari seluruh ahli warisnya. Hal ini karena keseluruhan ahli waris turut berhak dalam menikmati hasil dari merek tersebut.
Dengan begitu, untuk bisa mendapatkan kembali hak mereknya, maka penggugat perlu melakukan permohonan kepada seluruh ahli waris terlebih dahulu.
Bukan hanya merek Wilton itu sendiri yang menjadi sorotan dalam kasus ini, tapi adanya permohonan untuk pembatalan keputusan DJKI dari pihak penggugat. Lebih lanjut, surat keputusan yang dimaksud ternyata adalah mengenai pembatalan pengalihan 3 merek Wilton.
Untuk itu, ketika mengajukan gugatan, penggugat perlu lebih dulu menjelaskan mengenai merek Wilton yang mana yang akan dimohonkan pembatalan pengalihannya?
Sayangnya, dalam gugatannya tertulis mengenai satu nomor spesifik nomor pendaftaran merek yang menjadi objek sengketa, tetapi dalam dokumen yang sama juga mempermasalahkan mengenai surat keputusan tentang 3 nomor pendaftaran merek.
Hal inilah yang kemudian menjadikan majelis hakim perlu menolak gugatan penggugat dan tidak dapat mengabulkan permohonan penggugat untuk membatalkan pengalihan merek Wilton. Alhasil, warisan hak merek Wilton tetap akan menjadi hak ahli waris.
Mengenai kasus di atas, menjadi sebuah pelajaran bahwa hak merek itu bisa menjadi harta atau aset dari pengusaha. Bahkan, setelah seorang pengusaha tersebut meninggal dunia, hak kepemilikan dari suatu merek bisa menjadi harta waris untuk keturunan selanjutnya.
Meski begitu, agar tidak terjadi sengketa di kemudian hari, sebelum benar-benar mendapatkan pengalihan hak, maka pengusaha perlu memastikan lebih dulu tentang asal muasal kepemilikan merek sebelumnya.
Dari cerita kasus merek Wilton, maka pengusaha perlu kiat khusus untuk mengamankan mereknya. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan fitur Proteksi Merek sehingga tidak ada kesempatan pendaftaran merek penjiplak di kemudian hari!