MEBISO.COM – Pada mulanya, kasus merek 7+ adalah karena adanya usulan penolakan merek dari DJKI. Bukan tanpa alasan, karena DJKI juga menjelaskan mengenai merek pembanding yang menyebabkan terbitnya surat tersebut.
Sayangnya, Nutritional Goodness sebuah perusahaan asal Swiss ini tidak dapat menerima keputusan DJKI tersebut lalu mengajukan gugatan pertama.
Awal mula terjadinya gugatan ini adalah karena DJKI mengirimkan usulan penolakan merek kepada perusahaan asal Swiss tersebut. Isi dari usulan penolakan ini juga menjelaskan mengenai merek pembanding.
Adalah merek 7 Tujuh yang menjadi penyebab kemunculan surat usulan penolakan tersebut. Menurut DJKI permohonan pendaftaran merek 7+ patut mendapatkan penolakan karena memiliki kemiripan dengan merek 7 Tujuh.
Kemiripan ini menurut DJKI juga bisa berakibat mengecoh konsumen. Karenanya, DJKI berpendapat untuk bisa memberikan perlindungan merek maka perusahaan perlu menambahkan unsur pembeda agar konsumen tidak terkecoh.
Atas usulan penolakan tersebut, perusahaan sempat mengirimkan tanggapan tapi sayangnya tanggapan dari perusahaan tidak dapat mempertahankan merek dan DJKI masih tetap pada pendiriannya untuk menolak merek.
Upaya perusahaan tidak sampai pada tanggapan saja, karena setelah mendapatkan penolakan secara tetap berdasarkan tanggapan, perusahaan masih berusaha untuk mempertahankan mereknya melalui banding merek.
Tetapi hasil dari pengajuan banding juga tidak jauh berbeda dari penolakan tetap sebelumnya. Alhasil, perusahaan mengajukan gugatan pada pengadilan tingkat pertama.
Ternyata perusahaan masih tetap gigih untuk bisa mendapatkan perlindungan mereknya. Terlihat dari upaya perusahaan untuk mengajukan gugatan pada pengadilan tingkat pertama atas putusan Komisi Banding Merek.
Pada gugatan pertama ini, perusahaan berusaha menjelaskan mengenai mereknya yang tidak bertentangan hukum atau tidak membuat konsumen terkecoh dengan adanya dua merek tersebut.
Selain itu, perusahaan juga berusaha untuk memohon majelis hakim agar membatalkan putusan Komisi Banding Merek. Dengan begitu, perusahaan bisa terus menggunakan mereknya.
Atas permohonan tersebut, majelis hakim melakukan pemeriksaan dokumen dan juga bukti-bukti. Namun, hasil putusannya kurang baik untuk perusahaan asing tersebut karena majelis hakim tidak dapat menerima permohonan dari penggugat.
Setelah mendapatkan putusan seperti itu, perusahaan tidak berhenti sampai pengadilan tingkat pertama. Karena langkah berikutnya adalah dengan mengajukan kasasi ke pengadilan yang lebih tinggi.
Kali ini, perusahaan meminta agar pengadilan membatalkan putusan sebelumnya sehingga secara otomatis juga membatalkan putusan dari Komisi Banding Merek sebelumnya.
Bukan hanya itu, tetapi perusahaan juga meminta agar pengadilan bisa memberikan hak merek 7+ kepada perusahaan.
Berdasarkan permohonan dari perusahaan asing tersebut, pengadilan kemudian melakukan pemeriksaan kembali. Terlebih, tidak ada balasan atau tanggapan dari DJKI terhadap permohonan dari perusahaan asal Swiss tersebut.
Dengan begitu, kasus merek 7+ telah memasuki babak baru di tingkat kasasi. Pemeriksaan ini berdasarkan putusan sebelumnya, permohonan perusahaan, dan juga bukti-bukti pendukung.
Meskipun tanpa tanggapan dari DJKI, namun pemeriksaan kasus ini akan terus berjalan.
Setelah melakukan pemeriksaan terhadap seluruh dokumen, majelis hakim akhirnya menerbitkan putusannya. Lagi-lagi majelis hakim tidak bisa mengabulkan permohonan dari perusahaan asal Swiss tersebut.
Menurut pendapat para hakim, tidak ada kesalahan dalam putusan pengadilan tingkat pertama sebelumnya. Alhasil, pemeriksaan pada tingkat kasasi ini juga belum bisa menguntungkan perusahaan.
Dari kasus merek 7+ ada satu alasan utama mengapa DJKI dan juga pengadilan tidak bisa menerima permohonan dari Nutritional Goodness. Hal ini adalah karena merek milik perusahaan asal Swiss ini terlalu mirip dengan merek yang sudah ada.
DJKI menilai kemiripan merek ini dari dua poin. Pertama mirip pada pokoknya dan yang kedua adalah kemiripan pada keseluruhannya. Secara sederhana, cara menentukan kemiripan dari merek ini adalah dengan membandingkan kedua merek tersebut.
Bisa dari penulisannya, penyebutannya, penggunaan warna untuk logo, dan juga dari konsep merek secara keseluruhan.
Ketika pertama kali melihat nama merek 7+ dan juga merek 7 Tujuh, terlihat adanya kesamaan dari angka 7. Kemudian, keduanya menggunakan angka 7 sebagai unsur yang paling dominan pada merek.
Dengan begitu, tanpa adanya tambahan unsur lain sebagai pembeda, maka DJKI melihat hal ini sebagai kemiripan pada keseluruhan konsep merek keduanya. Setelah menimbang dari kemiripan keduanya, maka DJKI tidak bisa memberikan perlindungan kepada merek yang baru saja mengajukan permohonan.
Terlebih adanya prinsip perlindungan merek yaitu siapa cepat dia yang berhak. Maka, ketika sudah ada merek yang lebih dulu melakukan pendaftaran dan ternyata merek tersebut sangat mirip dengan milikmu, cara paling aman untuk mendapatkan perlindungan adalah dengan menambahkan unsur pembeda lainnya.
Seperti yang terjadi pada kasus di atas, bahkan pengadilan di tingkat yang lebih tinggi tidak bisa memberikan pertimbangan yang berbeda. Hal ini karena kemiripan pada merek menjadi penilaian utama dari pemberian perlindungan terhadap merek.
Dari kasus merek 7+ di atas, kamu sudah mengetahui tidak ada cara untuk menyelamatkan merek kecuali menjadikannya berbeda. Dengan begitu, kamu harus bisa menghindari kemiripan merek. Caranya, dengan menggunakan Cek Merek sebelum mengirimkan permohonannya.